Sinergitas Pemerintah dan Masyarakat dalam Penanganan Ekstremisme Kekerasan di Indonesia

blog

Sepanjang masa Pandemi Covid-19 sejak Maret hingga Agustus 2020 telah terjadi penangkapan sejumlah terduga teroris oleh Densus 88 Anti-Teror di beberap wilayah di Indonesia. Hal tersebut mengindikasikan bahwa isu ekstremisme yang mengarah pada kekerasan masih menjadi masalah serius bagi Indonesia.

 

Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bekerjasama dengan Konrad-Adenauer-Stiftung (KAS) Indonesia-Timor Leste menyelenggarakan Seminar Online Nasional yang bertema "Reorientasi Strategi Penanganan Ekstremisme Kekerasan di Indonesia", melalui aplikasi Zoom Cloud Meetings, pada Kamis, 27 Agustus 2020.

 

Dalam seminar tersebut CSRC UIN Jakarta mendiskusikan sejauhmana efektifitas strategi penanganan dan pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan beserta tantangan dan ancamannya di Indonesia.

 

Direktur Kerjasama Regional dan Multilateral BNPT RI, M. Zaim Alkhalish Nasution mengatakan bahwa meningkatnya terorisme atau ekstremisme yang mengarah pada kekerasan telah menjadi ancaman global. Hal tersebut terjadi seiring meningkatnya teknologi yang mendukung penyebaran informasi secara masif dan cepat kepada publik.

 

"Banyak kalangan menggunakan kemajuan teknologi untuk menyebarkan propaganda ekstremisme berbasis kekerasan serta melakukan perekrutan dengan mudah," ungkapnya.

 

Munculnya ekstremisme kekerasan di Indonesia berdasarkan beberapa kajian dilatarbelakangi oleh banyak faktor kunci. Faktor tersebut di antaranya adalah besarnya potensi konflik komunal berlatar belakang sentimen primordial dan keagamaan, kesenjangan ekonomi, perbedaan pandangan politik, perlakuan tidak adil terhadap masyarakat, serta intoleransi dalam beragama. 

 

Oleh karena itu, lanjutnya, untuk menghadapi hal tersebut dibutuhkan keterlibatan banyak pihak dan aspek dalam penanganannya. Selain dari pihak pemerintah dibutuhkan pula keterlibatan komponen masyarakat dalam upaya memitigasi ekstremisme berbasis kekerasan. Untuk melembagakan upaya tersebut, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tengah mematangkan Rancangan Peraturan Presiden tentang Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (Perpres RAN PE).

 

Zaim juga menambahkan secara keseluruhan dalam proses dan pelaksanaanya nanti, Perpres RAN PE tersebut berusaha menjunjung prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM), supremasi hukum dan keadilan, pengarusutamaan gender dan pemenuhan hak anak, keamanan dan keselamatan, tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), partisipasi dan pemangku kepentingan majemuk dan kebinnekaan dan kearifan lokal.

 

Direktur Ketahanan Ekonomi, Sosial dan Budaya Kemendagri RI, La Ode Ahmad P. Balombo berkomentar bahwa penyusunan rancangan tersebut harus diatur secara jelas agar tidak terjadi tumpang tindih antar lembaga negara sehingga diharapkan masyarakat dapat bersinergi dengan baik. "Kalau jelas maka diharapkan ada keterpaduan dalam penanganannya," ungkapnya.

 

Ia juga menegaskan bahwa penting untuk melakukan kolaborasi antara pemerintah dan civil society dalam upaya penanganan ekstremisme berbasis kekerasan. Hal ini agar mudah dan tepat dalam implementasinya. "Tidak tertinggal, agar upaya tersebut juga harus terus menerus dievaluasi.

 

Upaya Pencegahan

 

Mira Kusmarini, Direktur Eksekutif Empatiku, memaparkan bahawa proses pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan ini dapat dilakukan secara bertahap. Tahapan tersebut dimulai dari mereka yang sudah jelas melakukan tindak pidana terorisme dengan melakukan usaha deradikalisasi di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas). "Mereka yang nantinya keluar diharapkan tidak kembali melakukan tindak pidana terorisme lagi," ungkapnya.

 

Adapun bagi mereka yang telah terpapar paham radikal terorisme perlu dilakukan rehabilitasi dan reintegrasi atau deradikalisasi di luar lapas.

Sedangkan bagi individu yang rentan terhadap paham radikal terorisme maka penting untuk melakukan kontra-radikalisasi. Dan yang paling penting, setiap kita berpotensi menjadi target rekrutmen ekstremis/teroris, untuk itu seluruh masyarakat harus dibekali kemampuan resilien dan ketahanan agar tidak terpengaruh pada pemahaman radikal.

 

"Dalam hal pencegahan, UU Terorisme No. 8 Tahun 2015 telah memandatkan adanya kesiapsiagaan nasional, dan kami berusaha untuk menerjemahkannya dengan mengembangkan sistem deteksi dan penanganan dini di akar rumput," ujarnya.

 

Senada dengan hal tersebut, Team Leader CONVEY Indonesia, Jamhari Makruf berpendapat akan pentingnya partnership approach, pentingnya bermitra untuk melawan persoalan ekstremisme berbasis kekerasan. "Sebab problem tersebut bukan untuk pemerintah saja, tetapi juga seluruh elemen masyarakat," tegasnya.

 

Ia menceritakan bagaimana Convey Indonesia melakukan upaya-upaya pencegahan terhadap ekstremisme kekerasan melalui strong partnership and knowledge based approach (kemitraan yang kuat dan pendekatan berbasis pengetahuan). Di antaranya adalah melalui peran pemerintah. Karena jangkauan pemerintah terbatas maka juga dilibatkan organisasi masyarakat sipil. Selain itu institusi pendidikan juga sangat penting. "Seseorang untuk menjadi teroris tidak terjadi secara ujug-ujug, tetapi ada proses panjang, dan saya kira lembaga pendidikan dapat memutus rantai tersebut dengan melakukan indoktrinasi dan proses kajian, " jelasnya.

 

Dan hal yang sering dilupakan menurutnya oleh beberapa pihak adalah kerja sama dengan public sector. "Padahal dalam isu-isu terorisme yang paling terdampak adalah sektor publik," ungkapnya.

 

Tidak hanya bermitra, strong partnership menurut Jamhari juga perlu dipersenjatai dengan ilmu agar seluruh program yang direncanakan dapat berjalan dengan baik.

 

Linkage