Khutbah I
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجَا قَيِّمًا أشهد أن لا إله إلا الله ُوَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ إِلهاً وَاْحِدًا أَحَدًا فَرْدًا صَمَدًا لَمْ يَتَّخِذْ صَاحِبَةً وَلاَ وَلَدًا وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ الَّلهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ وَعَلَى ذُرِّيَتِهِ وَ أَهْلِ بَيْتِهِ. فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعاَلَي فِيْ الَقُرْ انِ الْكَرِيْمِ أَعُوْذُ باِللهِ الْسَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ مِنَ اْلشَّيْطَانِ الْرَّجِيْمِ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ وَقَالَ اْلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى .فيَا أَيُّهَا النَّاس اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ اَمَّا بَعْدُ
Kaum Muslimin Sidang Jumat yang Berbahagia,
Sungguh berbahagialah kita hari ini ini karena dengan rahmat dan karunia Allah serta inayah-Nya kita dapat menghadiri Shalat jumat di masjid ini dalam rangka berzikir, mengingat Allah. Shalawat dan salam senantiasa atas junjungan Nabi kita Muhammad saw, yang dengan Shalawat ini kita menunjukkan bukti cinta kita kepada Rasulullah dan dengan Shalawat ini pula kita berharap memperoleh syafaatnya di hari akhirat kelak.
Pada khutbah yang singkat ini, khatib akan menyampaikan satu tema penting yang berkaitan tentang bagaimana pandangan Islam dalam hal ketaatan kepada pemerintah.
Pertanyaan ini sangat penting untuk dijawab mengingat masih adanya sebagian kalangan dalam masyarakat Islam yang menolak taat kepada pemerintah. Menurut mereka pemerintahan sekarang ini adalah Thagut atau telah sesat karena tidak menegakkah hukum Tuhan. Bagi mereka pemerintah yang telah sesat tidak wajib ditaati. Sebaliknya, pemerintahan yang wajib ditaati adalah pemerintahan yang menegakkan hukum Tuhan; dan hukum Tuhan hanya bisa ditegakkan apabila pemerintahan menjalankan sistem khilafah. Karena di zaman modern sistem khilafah tidak lagi eksis, maka mereka berdalih wajib hukumnya pemuda Muslim memperjuangkan pemerintahan khilafah, kalau perlu dengan kekerasan.
Kaum Muslimin sidang jumat yang berbahagia,
Apa yang mereka persangkakan bahwa khilafah adalah sistem pemerintahan yang Islami adalah anggapan yang tidak ada hukumnya dalam al-Qur’an. Al-Qur’an memang menyinggung kata “khalifah”. Tapi tidak ada satupun ayat al-Qur’an yang menyebut kata “khilafah.” Dalam Surat al-Baqarah [2]:30, kata “khalifah” disebutkan dalam konteks penciptaan manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Kata “khalifah’ dalam ayat tersebut bermakna “wakil” Tuhan; dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan sistem politik. Allah menciptakan manusia sebagai wakil-Nya di muka bumi untuk menjalankan kehendak Allah agar manusia memakmurkan kehidupan di muka bumi. Yaitu, merawat dan memelihara seluruh ciptaan Allah agar kehidupan di bumi berjalan selaras, damai, dan membawa kesejahteraan bagi semua makhluk.
Ibnu Khaldun, seorang ahli sejarah Islam pada abad ke-14 Masehi, menyatakan bahwa pemerintahan yang menggunakan nama khalifah pernah terjadi setelah wafatnya Nabi. Yaitu pemerintahan yang dipimpin oleh Khulafaur Rasyidun yang kala itu berpusat di Madinah. Namun kata “khalifah” di sini mengacu kepada para Sahabat Nabi yang dipilih untung menggantikan Nabi dalam memimpin umat kala itu. Menurut Ibnu Khaldun, pemerintahan pengganti Nabi telah berakhir dengan berakhirnya Khulafaur Rasyidun, tepatnya setelah wafatnya Khalifah ke-4, yaitu Sayyidina Ali RA. Munculnya gagasan pemerintahan pengganti Nabi di zaman milenial ini, dengan satu kekuasaan politik tunggal bagi seluruh umat Islam yang kini berjumlah 1,8 milyar, hanya merupakan khayalan dan mimpi yang sulit diwujudkan dalam realitas kehidupan.
Kaum Muslimin sidang jumat yang berbahagia,
Mereka juga telah keliru dalam memaknai kata “Thagut”. Penyematan label Indonesia sebagai negara Thaghut sama sekali tidak tepat dan menyesatkan. Kata “Thagut” dalam al-Qur’an mengacu kepada sosok penguasa politik yang bersikap ekstrem. Penguasa “Thagut” dicirikan oleh kesewenangan dalam memerintah. Penguasa Thagut tidak memerintah berdasarkan hukum, tapi memaksa rakyatnya untuk mengikuti kehendak pribadi semata. Penguasa “Thagut” berpusat pada pendapatnya sendiri, dan tidak mendengarkan aspirasi rakyat, dan tidak pula mendengarkan hasil musyawarah para wakil rakyat. Bertolak belakang dengan ciri Thagut, Al-Qur’an memuji umat Islam yang bermusyawarah dalam urusan politik. Dalam QS Al-Syura: 38, Allah berfirman: “و أمرهم شوري بينهم"”, artinya: “dan dalam urusan (politik), mereka memutuskannya dengan cara bermusyawarah”. Al-Qur’an mencontohkan Fir’aun sebagai penguasa Thagut karena sifatnya yang diktator, anti musyawarah, sehingga sampai-sampai Fir’au menuhankan dirinya. Dalam makna yang luas, Al-Quran, menyebut Thaghut sebagai sikap melampaui batas dalam berbagai hal, baik dalam politik, muamalah, dan bahkan ibadah sekalipun. Fanatisme buta pada kelompok atau aliran agama mengindikasikan adanya benih-benih Thagut dalam diri seseorang. Thagut bentuk ini harus dijauhkan karena bertolak belakang dengan ajaran Tauhid yang intinya mengesakan Allah swt dalam penyebahan dan ketaatan beragama.
Kaum Muslimin sidang jumat yang berbahagia,
Allah memerintahkan kita untuk mematuhi aturan dan kebijakan yang dilaksanakan orang-orang yang dipilih untuk menjalankan urusan dan kepentingan publik (Ulil Amri). Allah mewajibkan hal itu setelah mewajibkan kita taat kepada Allah dan taat kepada Rasulullah. Dalam surat an-Nisa (5) ayat 59, Allah Swt berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ
Artinya:“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat)”.
Perintah taat kepada Allah dalam ayat ini disebutkan secara eksplisit (jelas) sama seperti perintah taat kepada Rasulullah saw. Perintah taat kepada Allah dan perintah taat kepada Rasul sama-sama diawali dengan kata athi'u (taatilah). Sementara perintah taat kepada Ulil Amri (pemerintah) tanpa kata athi'u (taatilah) hanya di’ataf-kan (diikutkan) kepada kedua perintah taat sebelumnya.
Perintah untuk taat kepada pemerintah atau Ulil Amri dalam ayat tersebut tidak bisa dilepaskan dari perintah lain yang terkandung dalam ayat sebelumnya (QS An-Nisa:58). Dalam ayat tersebut Allah benar-benar mewajibkan kita, kaum Muslimin, untuk menjalankan amanah yang diberikan kepada kita. Kewajiban lain yang juga diperintahkan dalam ayat tersebut adalah menegakkan keadilan pada saat menjalankan tugas menyelesaikan sengketa dalam masyarakat. Sifat sengketa di sini tidak diberikan penjelasan khusus sehingga maknanya bersifat umum. Bisa sengketa antara individu rakyat dengan individu lainnya, bisa sengketa antara rakyat dengan pemerintah, atau sengketa di kalangan pemerintah sendiri. Yang jelas ayat ini mewajibkan umat Islam menegakkan keadilan manakala menyelesaikan perkara-perkara yang disengketakan.
Perintah untuk taat kepada Ulil Amri (pemerintah) berkaitan erat dengan pelaksanaan amanat dan penegakkan keadilan yang merupakan tugas dan fungsi pemerintah sebagaimana digambarkan oleh ayat al-Qur’an tersebut. Kewajiban mentaati keputusan dan kebijakan pemerintah tentu diperlukan sebagai jaminan kewibawaan dan stabilitas. Tidak bisa dibayangkan apabila terjadi pembangkangan terhadap setiap keputusan yang diambil oleh hakim dalam memutuskan perkara di pengadilan. Maka akan mustahil ditegakkan keadilan hukum dalam masyarakat. Sebaliknya, yang akan terjadi adalah kekacauan akibat setiap oramg dan kelompok main hakim sendiri. Demikian pula, tidak bisa dibayangkan apabila kebijakan pemerintah dalam menjalankan amanat pengelolaan dan pembangunan selalu ditentang oleh masyarakat. Maka sudah dapat dipastikan akan terjadi distabilitas politik yang dapat menyebabkan krisis di berbagai bidang lainnya. Krisis mana bisa mengundang munculnya penguasa diktator atau Thagut yang memerintah dengan cara sewenang-wenang, pemaksaan dan tangan besi.
Kewajiban untuk taat kepada pemerintah diawali dengan kewajiban taat kepada kepada Allah dan taat kepada Rasulnya. Menurut TafsirAt-Tahrir wa At-Tanwir karangan Ibnu Ashur, pengurutan ini menunjukkan bahwa ketaatan kepada pemerintah yang menjalankan amanah dan menegakkan keadilan merupakan pelaksanaan riil (tanfidz) dari muatan perintah syariat mengenai pentingnya menegakkan amanah dan keadilan hukum. Di sisi lain, kewajiban taat kepada pemerintah mengikuti kewajiban taat kepada Allah dan taat kepada Rasulullah menunjukkan bahwa ketaatan kepada pemerintah tidak boleh keluar dari batasan-batasan (hudud) yang telah digariskan oleh Allah dalam al-Qur’an yang diwahyukan kepada Rasulullah. Hukum taat kepada pemerintah bersifat muqayyad (bersyarat dan ada pengecualian), bersifat nisbi (selektif), tidak mutlak. Hal ini menunjukkan bahwa kepatuhan kepada pemerintah terkait erat dengan kepatuhan kepada Allah dan Rasul-Nya. Inilah makna sabda Nabi yang berbunyi:
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
Artinya: “Tidak ada ketaatan dalam rangka kemaksiatan kepada Allah”
Kaum Muslim sidang jumat yang berbahagia,
Dimensi ketaatan terhadap pemerintah tergantung kebijakannya. Sepanjang aturan tersebut tidak menabrak aturan Allah dan Rasul-Nya, dia harus ditaati. Ketika pemerintah mengeluarkan peraturan yang sifatnya memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat, menegakkan hukum dan keadilan, mengawasi ideologi yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa maka aparat kepolisian sebagai penegak hukum pemerintah wajib untuk dipatuhi. Tidak semua hal yang menjadi kebijakan pemerintah yang telah diputuskan dalam musyawarah menyenangkan di mata semua rakyat. Pasti ada saja yang tidak menyukainya. Namun rasa tidak suka tersebut tidak boleh dijadikan alasan untuk membangkang kebijakan tersebut. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Nabi saw. bersabda:
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ.
Artinya:“Wajib bagi seorang Muslim untuk selalu mendengarkan dan taat kepada pemimpin dalam hal-hal yang disukai atau dibencinya selama tidak diperintahkan berbuat maksiat kepada Allah. Jika dia diperintahkan untuk berbuat maksiat kepada Allah, jangan dia dengar dan jangan dia taat.”
Tersirat dalam hadits ini suatu peringatan kepada pemerintah agar tidak mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan hukum Allah. Misalnya, Allah mengharamkan makan daging babi. Namun pemerintah mengeluarkan kebijakan yang menyuruh kaum Muslimin untuk makan babi dengan alasan, misalnya, daging babi bisa meningkatkan kesehatan dan kecerdasan. Maka perintah seperti ini telah melanggar hududullah (batasan-batasan) yang digariskan oleh Allah. Maka, hukum kewajiban untut taat kepada kebijakan pemerintah batal demi Syariah.
Dalam riwayat Bukhari lainnya Nabi saw bersabda:
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ يُطِعْ الْأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ يَعْصِ الْأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي وَإِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَعَدَلَ فَإِنَّ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرًا وَإِنْ قَالَ بِغَيْرِهِ فَإِنَّ عَلَيْهِ مِنْهُ
Artinya: “Dari Abu Hurairah, Nabi ﷺ bersabda: Siapa yang taat kepadaku berarti dia telah taat kepada Allah. Siapa yang bermaksiat kepadaku berarti dia telah bermaksiat kepada Allah. Siapa yang taat kepada pemimpin berarti dia telah taat kepadaku dan siapa yang bermaksiat kepada pemimpin berarti dia telah bermaksiat kepadaku. Sesungguhnya imam (pemimpin) adalah laksana benteng, dimana orang-orang akan berperang mengikutinya dan berlindung dengannya. Jika dia memerintah dengan berlandaskan taqwa kepada Allah dan keadilan, maka dia akan mendapatkan pahala. Namun jika dia berkata sebaliknya maka dia akan menanggung dosa.”
Kaum Muslim sidang jumat yang berbahagia,
Hadis di atas mengingatkan kaum muslimin untuk menaati pemerintah selama tidak melanggar ketentuan dan batasan yang digariskan oleh Allah dalam al-Qur’an. Namun demikian, kewajiban untuk taat kepada pemerintah tidak berarti larangan bersikap kritis dalam menyikapi kebijakan pemerintah. Dalam sistem pemerintahan kita, kritik dan saran yang membangun merupakan amanah yang khusus diberikan kepada para wakil rakyat meskipun setiap warga bisa melakukannya sendiri-sendiri. Namun, para wakil rakyat diberikan kewenangan untuk menilai apakah pelaksanaan hasil keputusan dan kesepakatan bersama telah dijalankan oleh pemerintah dengan baik atau masih ada hal-hal yang perlu diperbaiki demi terlaksananya kepentingan umum.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
Khutbah II
الْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ، وَالعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ، وَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ أَمَّا بَعْدُ
Pada khutbah pertama tadi, kita telah mendengarkan uraian tentang hukum taat kepada Allah, Rasul-Nya, dan pemerintah.
Dari uraian itu dapat disimpulkan bahwa menaati pemerintah yang sah adalah perintah agama dan hukumnya wajib selama kebijakan pemerintah tidak melanggar batasan-batasan dalam agama yang digariskan oleh Allah Swt dalam al-Qur’an. Thagut bukanlah pemerintahan yang menjalankan ketentuan yang telah disepakati untuk dijalankan dengan baik. Thagut adalah penguasa yang berkuasa tanpa aturan hukum dan menjalankan pemerintahan dengan diktator dan tangan besi. Orang dipenjara atau diberi hukuman tanpa dasar hukum atau tanpa melalui pengadilan, adalah contoh pemerintahan oleh Thagut. Klaim khilafah sebagai solusi hanya angan-angan belaka dan Indonesia negara thaghut merupakan pemikiran ekslusif dari orang yang kerdil paham agamanya dan tidak memahami sejarah pembentukan negara Indonesia sejak awal.
Selanjutnya, mari sejenak menundukan hati dan pikiran kita untuk bermunajat kepada Allah swt. Seraya mendoakan bangsa ini menjadi bangsa yang lebih baik kedepan, generasinya menjadi generasi pemimpin orang yang bertakwa. Umat Islam tampil menjadi rahmatan lil alamin. Semoga Allah mengangkat penyakit saudara kita yang sedang sakit dan memberikan kesembuhan yang terbaik dan keluarga menjadi penyejuk hati kita dalam kehidupan keluarga.
إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلٰى مُحَمَّدٍ وَعَلٰى اٰلِ مُحَمَّدٍ رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى اّلذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدّعَوَاتِ. رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. والحمد لله رب العالمين.
Dr. Fadhlullah Muhammad Said, MA. Pembina Yayasan Attaqwa Rajawali dan Pondok Pesantren Al-Qur’an Babussalam Bandung