Selasa (18/10), Pondok Pondok Pesantren An Nur kehadiran tamu dari jauh yakni Jerman. Ialah Denis Suarsana, Ph. D. selaku direktur KAS Indonesia-Timor Leste. CSRC Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta miliki kerja sama dengan KAS. Antara lain dalam program Pesantren for Peace dan Kontra Narasi Ekstremisme.
Program tersebut diadakan sebagai penguatan masyarakat atas ancaman narasi ekstremis dan bagaimana menolaknya terutama lewat dunia pesantren. Program ini terus berkembang hingga kini berhasil mengadakannya di Jawa, Sumatera hingga Sulawesi. Dan salah satu yang aktif dalam program ini adalah Pondok Pesantren An Nur. Sehingga direktur KAS mengunjunginya agar lebih mengenal dunia pesantren serta tradisi di dalamnya.
“Senang sekali bisa datang di tempat di mana training-training kita dipraktikkan. Karena Indonesia adalah contoh nyata negara demokratis yang didukung pesantren-pesantren. Kami yakin generasi mendatang lahir dari pesantren-pesantren” ucap Denis.
Turut hadir dalam kunjungan, adalah Sarah S. Hasbar sebagai Manager Program KAS, Idris Hemay, M. Si. selaku Direktur CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Junaidi Simun, Jazilus Sakhok, Nuri Farikhatin, dan beberapa tamu yang lain. Sedangkan tuan rumah, hadir KH Muslim Nawawi, Dr. H. Khoirun Niat, MA, dan Dr. Lina. Dan para santri sekitar 20 orang.
Rombongan tamu tiba di An Nur pukul 10.30 WIB. Para tamu masuk ke ruang pertemuan diiringi musik hadroh yang dimainkan para santri. Usai para tamu duduk, acara dibuka oleh Pembawa Acara dari santri. Dilanjutkan dengan pembacaan Kalam Ilahi oleh ustaz Muhammad Rizki Al Fatah, yang membacakan surah ad-Duha.
Acara berikutnya adalah sambutan dan testimoni. Sambutan pertama oleh direktur CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Idris Hemay, M.Si. Dalam sambutannya, ia memaparkan betapa suasana ini mengingatkan ketika 25 tahun silam ia ada di salah satu pesantren di Madura. Ia sangat senang sekali saat disambut dengan musik hadroh. Banyak para pimpinan di Madura itu mayoritas alumni dari Jogja.
Selain silaturahim ke pesantren, ia menjelaskan tujuan ke An Nur juga ingin sharing dan melihat para praktisi pesantren mengajarkan HAM dan toleransi. Karena selama ini, acara hanya diadakan di hotel saja padahal pesantren adalah role model utama program ini.
Sambutan kedua disampaikan oleh KH Muslim Nawawi, yang menjelaskan tentang An Nur. Bahwa pesantren ini telah memiliki santri dari Sabang sampai Merauke. Oleh karenanya toleransi di sini bukan sebatas pemahaman, tapi sudah menjadi praktik.
Terakhir diisi oleh trainer dan peserta program Pesantren for Peace, Dr. H. Khoirun Niat, MA dan Ahmad Sangidu. Dr. H. Khoirun Niat menyebutkan banyak dampak setelah mengikuti program tersebut. Dulu 2015 mungkin masih mendapati sanksi atau takziran santri yang memakai kontak fisik. Tentu itu melanggar HAM. Tapi sekarang sudah tidak lagi.
Sebagai seorang guru, lanjutnya, ketika mengajar kitab Jurumiyah, ada dalam contoh itu selalu memakai kata “memukul”. Tanpa merubah isi dalam kitab, contoh tersebut dirubah menjadi “menolong”. Sehingga ketika santri membaca diulang-ulang, pasti ada pengaruhnya. Tidak ada lagi kekerasan dalam contoh kata sekalipun.
Sedangkan Sangidu menuturkan setelah mengikuti program Pesantren fo Peace selama tiga hari, ia mendapatkan pelajaran bahwa sebagai pengurus harus memberikan hukuman edukasi, bukan kekerasan fisik yang membuat santri tidak betah di pondok. Selain itu, pesantren membuat berbagai media sosial untuk menyebarluaskan kebaikan dengan memanfaatkan platform digital yang semakin hari semakin canggih.