Khutbah Jumat: Larangan Memberontak Pemerintahan yang Sah

blog

Khutbah I

اَلْحَمْدُ ِللهُ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوْبُ اِلَيْهِ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ اَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ اَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اَمَّا بَعْدُ.

فَيَاعِبَادَ اللهِ، اُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَ اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِى الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا. قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا كَانَ ثَلَاثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَهُمْ» أَخْرَجَهُ أَبُوْ دَاوُد.

صَدَقَ اللهُ العَظِيمُ. وَبَلَّغَ رَسُولُهُ الكَرِيْمُ. وَنَحْنُ عَلىٰ ذٰلِكَ مِنَ الشَّاهِدِيْنَ وَالشَّاكِرِيْنَ وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

Sidang jamaah Jumat yang dirahmati Allah Swt,

Puji syukur kita panjatkan kehadiran Allah Swt. yang telah memberikan kenikmatan kepada kita sekalian, baik nikmat iman, nikmat Islam dan nikmat kesehatan. Shalawat dan salam kita sanjungkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad saw., khatamun nabiyyin wal mursalin.

Sidang jamaah Jumat yang dimuliakan Allah SWT,

Islam adalah agama yang mengatur kehidupan manusia secara komprehensif agar manusia dapat mencapai tujuan hidupnya, yaitu hidup yang bahagia baik di dunia maupun di akhirat. Untuk itu, Islam menghendaki perjalanan hidup manusia itu selalu dalam keteraturan dan arah yang jelas. Apalagi menyangkut hidup bersama-sama dalam suatu komunitas atau masyarakat. Hal itu karena Islam menempatkan manusia tidak hanya sebagai individu semata, tetapi juga sebagai makhluk sosial yang hidup bersama dan mencapai tujuan hidup bersama pula. Dalam kehidupan bersama tidak akan mungkin dapat tercapai kemaslahatan jika tidak ada kepemimpinan. Bahkan agama tidak akan tegak tanpa adanya kepemimpinan. Karena itu, Rasulullah mengharuskan umatnya untuk mengangkat seorang pemimpin dalam kehidupan sosial. Bahkan Rasulullah mengajarkan bahwa sebuah rombongan perjalanan sekalipun harus ada pemimpinnya. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra., Rasululullah saw. bersabda:

إِذَا كَانَ ثَلاَثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ

“Jika ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi pemimpinnya.” (HR. Abu Dawud)

Kelompok kecil saja memerlukan pemimpin, apalagi kelompok besar masyarakat yang terorganisir dalam sebuah negara. Tentu lebih-lebih membutuhkan pemimpin; membutuhkan sebuah pemerintahan. Perihal pentingnya keberadaaan pemerintahan di sebuah negara, sampai-sampai Imam al-Ghazali dalam Kitab Ihya ‘Ulumuddin mengatakan:

اَلدِّيْنُ والْمُلْكُ تَوْأَمَانِ، فَالدِّيْنُ أَصْلٌ وَالسُّلْطَانُ حَارِسٌ، فَمَا لَا أَصْلَ لَهُ فَمَهْدُوْمٌ وَمَا لَا حَارِسَ لَهُ فَضَائِعٌ

“Agama dan kekuasaan negara adalah dua saudara kembar. Agama merupakan fondasi, sedangkan kekuasaan negara adalah pengawalnya. Sesuatu yang tidak memiliki fondasi, akan runtuh, sedangkan sesuatu yang tidak memiliki pengawal, akan tersia-siakan.”

Pernyataan al-Ghozali di atas dapat diperluas pemahamannya bahwa negara harus ada agar kemaslahatan manusia dapat diwujudkan. Sebagai konsekuensinya, agar negara dapat menjalankan fungsinya memberikan maslahah kepada warganya, maka negara harus dipimpin oleh pemimpin yang dapat mewujudkan kamaslahatan tersebut. Karena itu, dalam Islam hadirnya seorang pemimpin dalam sebuah negara tidak saja wajib aqli tetapi juga wajib syar’i. Konsekuensi logisnya berarti mentaati pemimpin negara hukumnya wajib. Sebaliknya, membangkang terhadap pemimpin negara yang sah adaah sebuah pelanggaran hukum yang berat. Allah  SWT berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا

"Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa [4]: 59)

Kata ulil amri dapat didefinisikan sebagai para pemilik otoritas dalam urusan umat. Mereka adalah orang-orang yang memegang kendali semua urusan publik. Ketaatan terhadap pemimpin dalam ayat di atas, menurut Ibnu Katsir bersifat umum. Tidak hanya ketaatan kepada umara, tapi juga kepada ulama. Dalam soal agama kita taat kepada ulama dan dalam soal kenegaraan kita taat kepada pemerintah. Mentaati pemerintah (ulil amri) dalam Islam menempati posisi yang penting, karena orang yang taat kepada pemerintah dianggap juga taat kepada Rasulullah saw. Sebaliknya, orang yang membangkang terhadap pemerintah berarti dia telah membangkang terhadap Rasulullah. Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ يَعْصِنِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ، وَمَنْ يُطِعِ الْأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ يَعْصِ الْأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي (رواه مسلم)

“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Saw. beliau bersabda: barangsiapa taat kepadaku maka ia taat kepada Allah, dan barangsiapa durhaka kepadaku maka ia durhaka kepada Allah, barangsiapa taat pada pemimpinnya maka ia taat kepadaku, dan barangsiapa durhaka pada pemimpinnya maka ia durhaka kepadaku” (HR. Imam Muslim)

Hadirin, Rahimakumullah,

Islam menghendaki hubungan antara rakyat dan pemerintah adalah hubungan yang harmonis. Pemimpin mencintai rakyatnya, rakyat mencintai pemimpinnya. Pemimpin mendoakan rakyatnya dan rakyat pun mendoakan pemimpinnya. Islam mengecam hubungan yang buruk antara pemimpin dan rakyat, dimana pemimpin melaknat rakyatnya dan rakyat melaknat pemimpinnya. Sebagaimana dalam sabda Nabi Muhammad SAW berikut:

خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ، وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ، وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ، وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ ، قَالُوا: قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ، أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ عِنْدَ ذَلِكَ؟ قَالَ: لَا، مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلَاةَ، لَا، مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلَاةَ، أَلَا مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ وَالٍ، فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ، فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ، وَلَا يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ

“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka pun mendoakan kalian. Sedangkan sejelek-jelek pemimpin kalian adalah kalian membenci mereka dan mereka pun membenci kalian, kalian mengutuk mereka dan mereka pun mengutuk kalian.”Mereka berkata, “Kemudian kami bertanya, “Wahai Rasulullah, tidakkah kami memerangi mereka ketika itu?” Beliau menjawab, “Tidak, selama mereka mendirikan shalat bersama kalian, tidak selama mereka masih mendirikan shalat bersama kalian. Dan barangsiapa dipimpin oleh seorang pemimpin, kemudian dia melihat pemimpinnya bermaksiat kepada Allah, hendaknya dia membenci dari perbuatan (maksiat) tersebut dan janganlah dia melepas dari ketaatan kepadanya.” (HR. Muslim)

Hadirin sidang jamaah Jumat yang berbahagia,

Dari ayat dan hadits di atas, sudah sangat jelas bagaimana Islam melarang sikap dan perilaku membangkang terhadap pemimpin. Bahkan ketika pemimpin melakukan kemaksiatan sekalipun, maka kita tetap wajib mentaatinya pada perintah-perintah kebaikannya. Di sini dibedakan antara perilaku dosa kepada Allah yang dilakukan oleh pemimpin dalam hal-hal seperti melalaikan ibadah Shalat, misalnya. Dimana ibadah tersebut berkaitan langsung dengan pemenuhan kewajiban individu kepada Tuhannya, bukan terkait dengan kewajiban pemenuhan hak-hak manusia (huquq bain al-naas). Maka, maksiyat seorang pemimpin dalam ibadah mahdah tersebut tidak menggugurkan ketaatan rakyat kepada kebijakannya selama pemimpin menjaga amanah kepemimpinanya. Apabila pemimpin mengabaikan hak-hak rakyatnya, maka rakyat dibolehkan untuk memberikan nasihat dan menegur pemimpin yang demikian. Namun, apabila pemimpin memerintahkan perbuatan yang melanggar kewajiban syariat dan melanggar hak-hak warga negara yang lain, maka perintah tersebut tidak perlu ditaati.

لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

Tidak ada ketaatan di dalam maksiat, taat itu hanya dalam perkara yang ma’ruf (HR Bukhari, no. 7257; Muslim, no. 1840).

Dari sini dapat ditarik kesimpulan, jika ada pihak-pihak yang tidak puas dengan kebijakan pemerintah, maka dilarang baginya melakukan pembangkangan atau apalagi melakukan pemberontakan (bughot). Memberikan masukan dan kritik yang membangun kepada pemerintah untuk perbaikan dan penyempurnaan kebijakannya justru dianjurkan. Hal tersebut mencerminkan esensi agama. Juga sebagai nasihat kepada kebaikan dan amar makruf nahi munkar. Perbedaan dukungan politik merupakan bagian dari konsekuensi sistem demokrasi. Namun, perbedaan dukungan politik tidak seyogyanya menjadi pembenar sikap yang berlebihan dalam menolak kebijakan pemerintah sehingga mengarah kepada pembangkangan. Namun di sisi lain, pemerintah dalam menjalankan kebijakannya harus tetap didasarkan pada tujuan menghadirkan maslahat bagi rakyatnya.

تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ

 “Kebijakan pemimpin terhadap rakyat harus dihubungkan dengan kemaslahatan.”

Hadirin Rahimakumullah,

Pembangkangan dan pemberontakan bukan solusi tetapi biasanya mengundang masalah yang lebih besar lagi. Perbuatan ini sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam dalam mengatur urusan politik. Meskipun demikian, kita dilarang membiarkan begitu saja pemerintahan yang tidak menjalankan amanahnya dengan baik dan pemerintah yang berlaku diskriminatif terhadap rakyatnya. Kita harus memberikan tausiyah,  kritik, dan saran, dengan cara yang ma’ruf, yaitu cara yang dikenal baik menurut yang disepakati. Bukan dengan cara yang munkar, yaitu cara yang melanggar hukum dan menyebabkan mudarat yang lebih besar bagi rakyat banyak. Itulah esensi dari perintah Allah kepada kita untuk ber-amar ma’ruf dan nahi munkar.

Hadirin rahimakumullah,

Demikianlah khutbah ini kami sampaikan. Semoga dapat memberikan pencerahan kepada kita semua dalam pemahaman hubungan antara pemimpin dan rakyat. Islam mengharuskan adanya hubungan baik antara keduanya dan Islam sangat melarang sikap membangkang apalagi memberontak terhadap pemerintahan yang sah. Islam menekankan agar rakyat taat kepada pemimpin demi kebaikan bersama kecuali perintah yang mengandung kemaksiatan. Semoga harapan kita semua dikabulkan Allah Swt. dan negeri kita, Indonesia, menjadi negeri yang baldatun thoyyibatun wa robbun ghofuur.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْانِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْأيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنِّي وّمِنْكُمْ تِلَاوَتُهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ، أَقُوْلُ قَوْلِيْ هذَا وَأَسْتَغْفِرُاللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Khutbah II

اْلحَمْدُ ِللهِ عَلىَ اِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَاَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ تَعْظِيْمًا لِشَأْنِهِ، وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى اِلىَ رِضْوَانِهِ، اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثيْرًا. اَمَّا بَعْدُ

 فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا اَمَرَ، وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَزَجَرَ. وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهّ اَمَرَكُمْ بِاَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ

وَقَالَ تَعاَلَى اِنَّ اللهَ وَمَلآ ئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.

 اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيَآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ، وَارْضَ اللهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَاَللّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلْاَحْيآءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ، اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُوْرِنَا، اَللَّهُمَّ وَفِّقْهُمْ لِمَا فِيْهِ صَلَاحُهُمْ وَصَلَاحُ اْلإِسْلَامِ وَالْمُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ أَعِنْهُمْ عَلَى الْقِيَامِ بِمَهَامِهِمْ كَمَا أَمَرْتَهُمْ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ أَبْعِدْ عَنْهُمْ بِطَانَةَ السُّوْءِ وَالْمُفْسِدِيْنَ، وَقَرِّبْ إِلَيْهِمْ أَهْلَ الْخَيْرِ وَالنَّاصِحِيْنَ، اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُوْرِ الْمُسْلِمِيْنَ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ. اَللَّهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

اِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ، وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، وَاذْكُرُوااللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرُ

 

KH. Ahmad Zubaidi, MA. Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat

Linkage