Khutbah 1
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ عَلَى أُمُوْرِ الدُّنْيَا وَالدِّيْنِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى أَشْرَفِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ، نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَالتَّابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلىَ يَوْمِ الدِّيْنِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا الله وَحْدَه لَاشَرِيْكَ لَهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ اْلمُبِيْن،وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَـمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صادِقُ الْوَعْدِ اْلأَمِيْن. أَمَّا بَعْدُ
فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ،. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْن فَقَالَ اللهُ تَعَالَى وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
Hadirin jamaah Jumat rahimakumullah,
Pada kesempatan hari Jumat kali ini, khatib berwasiat kepada diri sendiri dan kepada hadirin sekalian untuk senantiasa meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Swt. Hari Jumat adalah sayyid al-ayyam, hari yang agung, yang menjadi momentum bagi kita semua untuk meningkatkan keimanan. Semoga Allah Swt. memberi kita kekuatan untuk selalu berpegang teguh pada ketakwaan. Amin.
Akhir-akhir ini, kita sering mendengar istilah “hijrah” di dalam perbincangan sehari-hari. Istilah “hijrah” yang digunakan dewasa ini mengandung makna “perubahan perilaku dari kurang baik ke arah yang lebih baik.” Hijrah dari pola hidup penuh maksiat menjadi pola hidup yang penuh dengan ketaatan. Hijrah dari keadaan tidak mengenal agama menjadi bersemangat mempelajari tuntutan Islam. Kata “hijrah” juga dimaknai sebagai masuk Islam; pindah agama dari non-Islam menjadi pemeluk Islam.
Namun, apakah makna kata “hijrah” yang sebenarnya? Kata “hijrah” berasal dari kata kerja bahasa Arab hajara-yahjuru-hijratan yang berarti ”berpindah meninggalkan satu tempat atau satu kelompok untuk pindah ke tempat lain atau hidup bersama kelompok lain.” Pindahnya Nabi Muhammad Saw. dan pengikutnya pada masa Islam awal dari Kota Makkah yang merupakan kota asal mereka ke Kota Yatsrib (Madinah), dalam tradisi Islam dikenal dengan istilah "Hijrah”.
Namun, kata “hijrah’ dewasa ini telah mengalami perkembangan makna, menjadi kata kiasan untuk gejala perubahan mencolok perilaku seorang Muslim dari perilaku kurang religius menjadi tampak sangat religius. Di layar kaca, fenomena ini juga lazim dipraktikkan oleh para selebritis di layar kaca, sehingga kita juga akrab dengan istilah dan cerita-cerita seputar selebriti yang hijrah. Contohnya, artis A, yang dulu dikenal sebagai selebritis dan bintang sinetron, memutuskan untuk hijrah dan menjadi pribadi yang sangat religius. Atau anggota band X, misalnya, yang dulu akrab dengan panggung hiburan, memilih mundur dari kehidupan panggungnya, guna hijrah kepada aktivitas baru, yaitu mendalami ajaran agama Islam. Namun, orientasi hijrah yang ditunjukkan oleh para artis ini lebih menonjolkan perubahan perilaku yang tampak lahir atau penampilan fisik ketimbang sikap dan pemahaman keagamaan yang menekankan orientasi batin atau aspek keruhanian.
Tentunya kita patut menilai positif, menyambut baik, gejala “hijrah” yang kini semakin menjadi tren yang digemari di kalangan Muslim perkotaan. Akan tetapi di sisi lain, kita perlu mencermati tren ini dengan lebih seksama agar memberi makna demi tersebarnya nilai-nilai Islam yang rahmatan lil alamin. Kita mengamati, misalnya, tren hijrah ini tampil dalam bentuk perayaan dan festival yang cenderung fokus pada sisi penampilan fisik. Perubahan busana Muslimah dari yang hanya mengenakan jilbab khas Indonesia kepada penggunaan jilbab khas Muslim di wilayah Arab tertentu dengan cadar dan gamisnya, atau penggunaan bahasa dalam panggilan atau ucapan selamat yang sebelumnya menggunakan bahasa Indonesia menjadi bahasa Arab. Namun, yang kurang diperhatikan dalam perilaku hijrah ini adalah nilai-nilai ketaqwaan yang seharusnya menjadi tujuan perubahan itu sendiri. Orang lebih menonjolkan perilaku Islam lahiriyah, tapi mengabaikan perilaku taqwa yang bersifat batiniyah, atau Taqwa al-Qulub. Kita kerap menemukan pelaku hijrah makin identik dengan sikap gampang menyalahkan atau mencela keyakinan lain dan menilai buruk mereka yang dipandang belum berhijrah. Allah berfirman dalam Surat al-A‘raf [7]: 26,
وَلِبَاسُ التَّقْوٰى ذٰلِكَ خَيْرٌۗ
Artinya: “Tetapi pakaian takwa, itulah yang lebih baik”
Hadirin jamaah Jumat rahimakumullah,
Mari kita renungkan lagi niat dan tujuan hijrah itu sendiri. Al-Quran telah memberi petunjuk kepada kita bahwa niat berhijrah sama dengan niat berjihad. Keduanya harus diniatkan di jalan Allah, yaitu berhijrah dan berjihad demi menjalani kehidupan yang sesuai dengan ajaran, arahan, dan ketentuan Allah. Sedangkan tujuan berhijrah dan berjihad di jalan Allah haruslah dikerahkan untuk meraih kasih sayang dan rahmat Allah semata. Telah disebutkan dalam Al-Quran:
اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَالَّذِيْنَ هَاجَرُوْا وَجَاهَدُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۙ اُولٰۤىِٕكَ يَرْجُوْنَ رَحْمَتَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Artinya:“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Baqarah [2]: 218).
Ayat di atas mengacu kepada motivasi dan tujuan orang-orang beriman yang berhijrah bersama Nabi Muhamamd saw dari Makkah menuju Madinah. Mereka tidak hanya berhijrah dalam artian bermigrasi ke Madinah, seperti migrasi umumnya, tapi juga ber-mujahadah, yaitu mengerahkan usaha sungguh-sungguh penuh pengorbanan harta dan keluarga demi meraih kehidupan yang penuh rahmat ilahi. Kita yang hidup di zaman modern ini tentunya tidak perlu bermigrasi ke tempat baru, apabila di tempat asal kita tidak mengalami penindasan, apabila di tempat asal kita masih dapat leluasa menjalani kehidupan yang diridhai Allah. Namun demikian, ayat di atas mengajarkan kepada kita bahwa hendaknya kita meniru semangat umat Islam awal yang bersungguh-sungguh dalam menjalani hidup agar mendapatkan rahmat ilahi dan pengampunan-Nya.
Namun, ayat di atas telah diselewengkan maknanya oleh kaum ekstremis. Mereka menafsirkan kata “mujahadah” dengan “muqatalah” yang berarti “berperang”, demi menggaet dukungan dari masyarakat untuk meraih tujuannya. Mereka mengartikan ayat di atas dengan kewajiban orang-orang Mukmin sekarang untuk meninggalkan negeri asalnya ke negeri konflik guna berperang atas nama jihad fi sabilillah. Yang menyedihkan, kadang ajakan hijrah ini disertai dengan iming-iming untuk tidak ragu meninggalkan keluarga, suami, istri, anak dan masyarakat yang telah mereka hidupi. Menurut rilis BNPT pada April 2022, sebanyak 2.157 Warga Negara Indonesia telah tergabung dengan ISIS dan jaringannya untuk pergi ke Suriah. Bahkan, secara rinci, 333 di antaranya merupakan perempuan dan membawa 315 jiwa yang masih anak-anak.
Bukti yang tidak terbantahkan adalah Majalah Dabiq yang diproduksi ISIS pernah merilis satu edisi khusus bertajuk A Call to Hijrah – sebuah ajakan hijrah ke Suriah yang senafas dengan seruan untuk berjihad angkat senjata di wilayah itu, demi membentuk khilafah Islam sebagai sebuah sistem pemerintahan. Majalah Dabiq ini menggunakan narasi akhir zaman untuk meyakinkan pembacanya bahwa Suriah adalah tanah yang penting. Majalah tersebut membentuk keyakinan bahwa Suriah adalah tempat berlangsungnya perang besar akhir zaman atau Malhamah al-Kubra yang dinanti-nanti oleh umat Islam. Majalah Dabiq mengklaim bahwa Rasulullah telah meramalkan pertempuran-pertempuran besar akan terjadi di Suriah pasukan Muslim di Syam dan di daerah-daerah seperti Damaskus dan Sungai Eufrat yang dekat dengan Suriah atau Syam. Di samping itu, kejadian-kejadian akhir zaman lainnya yang berhubungan dengan kemunculan Dajjal, Al-Masih, dan lainnya diklaim akan terjadi pula di tanah Suriah. Sehingga narasi tersebut meyakinkan bagi pembaca awam bahwa perang besar akhir zaman akan benar-benar terjadi, padahal tujuan akhirnya adalah pencarian dukungan dan pasukan demi memperlancar misi kekerasan.
Jamaah Jumat rahimakumullah,
Kita perlu melihat kembali ke lembaran sejarah, bahwa proses hijrah umat Islam tidak identik dengan peperangan dan angkat senjata semata. Hijrah umat Muslim ke Madinah, yang menjadi inspirasi besar bagi kita semua, dilaksanakan dengan cara yang bermasyarakat. Ketika kaum Muhajirin dari Makkah tiba menginjakkan kaki di Madinah dan disambut oleh kaum Anshar sebagai penduduk asli Madinah, Rasulullah tanpa ragu mempersatukan dan mempersaudarakan antara kedua kaum tersebut dalam persaudaraan Islam.
Sejarah juga merekam bahwa hijrah pertama yang dilakukan umat Muslim saat itu justru ke Habasyah/Ethiopia yang saat itu kerajaan Nasrani. Umat Muslim yang saat itu masih lemah, lari dari persekusi penduduk Kafir Quraisy dan mencari suaka kepada Raja Negus/Najasi yang dikenal sangat adil sekalipun berbeda dalam keyakinan. Bukti kesejarahan ini menjadi pertanda bagi kita bahwa hijrah tidak selalu bermakna untuk berpindah dan bertempur menegakkan pemerintahan Islam seperti propaganda ISIS atau pendukung khilafah. Hal demikian terjadi karena Raja Negus sangat terkenal keadilannya sebagaimana penjelasan Nabi Muhammad SAW dalam kitab Tarikh Ibn Katsir, al-Bidayah wan Nihayah:
لَوْ خَرَجْتُمْ إِلَى أَرْضِ الْحَبَشَةِ، فَإِنَّ بِهَا مَلِكًا لَايُظْلَمُ عِنْدَهُ أَحَدٌ. وَهِيَ أَرْضُ صِدْقٍ حَتَّى يَجْعَلُ اللهُ لَكُمْ فَرَجًا مِمَّا أَنْتُمْ فِيهِ
Artinya:“Hendaknya kalian hijrah ke negeri Habasyah, sebab di sana terdapat raja yang tidak ada seorang pun yang dizalimi di sisinya. Habasyah adalah negeri kejujuran sehingga Allah akan menjadikannya sebagai solusi bagi kalian dari penderitaan yang kalian alami,”
Satu hal lagi yang perlu direnungkan adalah, bagaimana sebetulnya tujuan hijrah itu sendiri? Jelas, bahwa hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah berujung kepada terbentuknya masyarakat yang madani dan beradab di Madinah. Dibuktikan dengan adanya Piagam Madinah, yang berisi tentang kesepakatan untuk membangun hidup bermasyarakat bersama. Begitu Rasulullah telah berhasil membangun masyarakat madani di Madinah, Rasulullah kembali ke Makkah. Peristiwa ini diabadikan dalam sejarah sebagai Fathu Makkah atau “penaklukan” kota Makkah. Apakah penaklukan ini berjalan dengan angkat senjata? Tentu tidak. Sejarah merekam bahwa Rasulullah SAW bersama umat Muslim merebut kembali kota Makkah dengan penuh kasih sayang, penuh rahmat. Ketika warga Makkah dibayangi ketakutan hukuman seperti apa yang akan mereka terima setelah umat Islam merebut kembali Makkah, Rasulullah justru berseru: “inna hadzal yaum laisa yaumul malhamah, walakinna hadzal yaum yaumul marhamah!”. Hari ini (Fathu Makkah) bukanlah hari pembalasan dendam, melainkan hari ini adalah hari kasih sayang.
Perlu kita tegaskan bahwa konsep hijrah untuk angkat senjata dan bertempur bukanlah ajaran Nabi Muhamammad Saw. Bahkan Nabi sendiri melarang berhijrah dalam artian berpindah dari kota atau negeri asal ke kota atau negeri yang baru dalam konteks keagamaan, bukan dalam konteks ekonomi atau politik. Dengan kata lain, tidak ada lagi kewajiban atau ajaran agama berhijrah setelah berhijrahnya Nabi dan para pengikutnya dari Makkah ke Madinah, dan setelah pembebasan Makkah atau Fathu Makkah. Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘anha bahwa Rasulullah SAW telah menegaskan bahwa tidak ada hijrah –dalam arti secara fisik dan kewilayahan– setelah peristiwa Fathu Makkah.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، قَالَتْ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَاهِجْرَةَ بَعْدَ الفَتْحِ، وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فانْفِرُوْا (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
Artinya: “Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, “Tidak ada hijrah setelah pembebasan -Makkah-, tetapi yang ada ialah jihad dan niat. Maka dari itu, apabila engkau semua diminta untuk keluar maka berangkatlah.”
Pada akhirnya, hijrah merupakan sarana dan momentum dalam menguatkan diri hamba untuk merenungi apa yang kita niatkan di lubuk hati. Hijrah merupakan wasilah demi menggapai rahmat dan ridha Allah, bukan menjadi tujuan itu sendiri. Kita perlu teliti menentukan mana wasilah (jalan), mana yang menjadi ghayah (tujuan). Walhasil, hijrah merupakan sarana untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah, yang mewujud dalam perilaku rahmah, penuh kasih sayang serta menebar kerahmatan dan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. Karena yang utama, yang kita tuju pada akhirnya adalah Rahmat dan Ridha Allah SWT.
بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم
Khutbah 2
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَ الْحَمْدُ لِلّٰهِ ثُمَّ الْحَمْدُ لِلّٰهِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ، اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ، أَمَّا بَعْدُ
فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: إِنَّ اللّٰهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يٰٓاَيُّهَا الَّذِينَ اٰمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيْمًا، اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدَنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اٰلِ سَيِّدَنَا مُحَمَّدٍ. اللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ، اَلْأَحْياءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ، اَللّٰهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ والقُرُوْنَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتَنِ وَاْلمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا إِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عامَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ، اللّٰهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ، رَبَّنَا آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ، وَاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ
عٍبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشَاءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
Rifqi Fairuz, MA. Dosen Fakultas Dakwah UIN Salatiga