Khutbah I
كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ ۗ وَلَوْ اٰمَنَ اَهْلُ الْكِتٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ ۗ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَاَكْثَرُهُمُ الْفٰسِقُوْنَ، لَنْ يَّضُرُّوْكُمْ اِلَّآ اَذًىۗ وَاِنْ يُّقَاتِلُوْكُمْ يُوَلُّوْكُمُ الْاَدْبَارَۗ ثُمَّ لَا يُنْصَرُوْنَ.
Ma‘asyiral muslimin wa zumratal mukminin rahimakulullah,
Pada kesempatan shalat Jumat yang mulia dan berbahagia ini khatib berwasiat kepada diri pribadi dan mengajak jamaah sekalian untuk senantiasa istiqamah menjadi hamba Allah yang bertaqwa dengan mematuhi perintah-perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Manusia yang bertaqwa akan memiliki kedudukan yang mulia di hadapan Allah dan di antara umat manusia.
...اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗ...
Artinya:“...Sesungguhnya manusia yang paling mulia di hadapan Allah adalah mereka yang paling bertaqwa…” (QS. al-Hujurat [49]: 13).
Hadirin sidang Jumat yang dimuliakan Allah,
Sesuai dengan fitrahnya, manusia adalah makhluk sosial. Manusia adalah makhluk yang memiliki naluri bergaul dengan sesama manusia dan memiliki sifat-sifat untuk senantiasa membangun relasi dan interaksi sosial yang sebaik-baiknya. Manusia tidak bisa hidup sendiri dan tidak boleh menyendiri. Kebahagiaan, kesuksesan dan kemuliaan manusia dalam semua bidang kehidupan ditentukan oleh kualitas hubungan dan pergaulan dengan sesama umat manusia.
Terkait dengan kehidupan sosial, Al-Qur’an memberikan pelajaran bagi kaum beriman dengan kehidupan Ahli Kitab, khususnya Bani Israil, yaitu Kaum Yahudi yang hidupnya terlunta-lunta karena mereka tidak beriman kepada Allah, tidak mematuhi aturan, norma, dan tatanan sosial, serta melawan pemimpin. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran [3]: 112.
ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ اَيْنَ مَا ثُقِفُوْٓا اِلَّا بِحَبْلٍ مِّنَ اللّٰهِ وَحَبْلٍ مِّنَ النَّاسِ وَبَاۤءُوْ بِغَضَبٍ مِّنَ اللّٰهِ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الْمَسْكَنَةُ ۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ كَانُوْا يَكْفُرُوْنَ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ وَيَقْتُلُوْنَ الْاَنْبِۢيَاۤءَ بِغَيْرِ حَقٍّۗ ذٰلِكَ بِمَا عَصَوْا وَّكَانُوْا يَعْتَدُوْنَ
Artinya: “Mereka diliputi kehinaan dimana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang pada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapatkan kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.” (QS. Ali Imran [3]: 112).
Ibnu Katsir di dalam Tafsirnya menjelaskan ayat tersebut diturunkan dalam konteks Perang Khaibar dimana umat Islam meraih kemenangan yang gilang-gemilang. Lebih lanjut Ibnu Katsir juga mengaitkan dengan kehidupan kaum Yahudi Bani Qainuqa, Bani Nadhir, dan Bani Quraidhah yang diusir dari Madinah karena melanggar Piagam Madinah, melakukan provokasi yang memecah belah masyarakat Madinah, dan bersekongkol dengan orang-orang kafir untuk menyerang Nabi dan kota Madinah.
Di dalam Alquran, kata “habl” dan kata bentukannya disebutkan sebanyak tujuh kali, yaitu: habl lima kali (Qs. Ali Imran [3]: 103, 112; Qs. Qaf [50]: 16; Qs. al-Masad [111]: 5) dan hibal dua kali (Qs. Taha [20]: 66; Qs. asy-Syuara [26]: 44). Secara umum, habl berarti tali, sesuatu yang dipergunakan untuk mengikat sesuatu yang lain sehingga tidak tercerai berai. Tali juga bisa berarti sesuatu yang menghubungkan sesuatu dengan yang lainnya sehingga tidak terputus. Tali, dalam pengertian umum juga bisa berarti pengikat yang membuat sesuatu tetap utuh, tidak tercerai berai, dan terjalin dengan baik.
Di antara ikatan yang menghubungkan manusia dengan sesama adalah agama dan budaya. Manusia terikat oleh ajaran dan nilai-nilai agama sebagai landasan dan pedoman hidup. Manusia terikat dengan sesama dalam suatu masyarakat atau komunitas berdasarkan kesamaan nilai, pandangan, dan cita-cita bersama dalam membangun dan menjalin kehidupan yang bahagia. Sikap eksklusif dan individualistis dapat merusak relasi dan harmoni sosial.
Tata nilai dan norma sosial dibuat bersama oleh masyarakat berdasarkan kesepakatan atau perjanjian untuk kebaikan bersama. Tata nilai dan norma tersebut merupakan basis tradisi dan hukum sosial (urf). Tradisi atau adat istiadat yang baik dapat menjadi landasan dan hukum. Di dalam hukum positif, hukum adat mendapatkan pengakuan dan dasar dalam penetapan suatu perkara. Demikian halnya dalam hukum Islam. الْعَادَةُ مُحْكَمَةٌ. Adat atau tradisi adalah dasar hukum atau bahkan hukum itu sendiri. Selain Al-Qur’an dan Sunnah, Imam Malik berpendapat bahwa tradisi atau adat-istiadat masyarakat Madinah adalah sumber hukum Islam.
Mematuhi tata krama sosial dan hukum adat merupakan pengamalan ajaran Islam. Hidup manusia menjadi mulia apabila mereka memegang teguh ikatan sosial, nilai-nilai, dan tata krama yang baik sebagai habl min an-Nas. Ketika menjadi kepala negara Madinah, Rasulullah Muhammad membuat Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah) sebagai undang-undang yang mengikat semua komunitas Madinah. Piagam Madinah bukanlah Sunnah, tetapi merupakan contoh bermuamalat yang sesuai ajaran Islam. Sebagai kepala pemerintahan, Rasulullah Muhammad saw menegakkan Piagam Madinah secara konsisten. Mereka yang melanggar akan ditindak tegas. Sebagian orang Yahudi diusir dari Madinah karena mereka tidak mematuhi Piagam Madinah. Sebagai akibat dari pengusiran itu, orang-orang Yahudi hidup terlunta-lunta dan nista. Inilah pelajaran tentang arti pentingnya mematuhi tata krama sosial dan adat istiadat.
Sidang Jumat yang dimuliakan Allah,
Tentu tidak semua adat harus diikuti tanpa ada filter. Ada yang tidak baik dan bertentangan dengan Islam tidak harus diikuti. Bahkan, kita dapat melakukan perubahan dengan cara yang baik (ma‘ruf). Cara yang baik adalah cara-cara yang sesuai dengan hukum, ilmu pengetahuan, akal sehat, dan tanpa kekerasan. Termasuk cara yang ma‘ruf adalah melakukan negosiasi sosial dan proses legislasi yang sah. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Surat an-Nahl [16]: 125.
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ
Artinya: “Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, nasihat yang baik, dan perdebatan. Demikianlah cara yang lebih baik.” (QS. an-Nahl [16]: 125)
Ruang untuk melakukan perubahan dilakukan untuk tujuan yang baik dan kehidupan yang lebih baik. Dalam kaidah Fiqh disebutkan:
الْمُحَافَظَةُ عَلَى الْقَدِيْمِ الصَّالِحِ وَالْأَخْذُ بِالْجَدِيْدِ الْأَصْلَحِ
Memelihara tradisi yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik. Islam mengajarkan kehidupan dan sikap yang moderat dan melakukan perubahan dengan cara yang moderat pula, bukan dengan cara-cara yang ekstrim dan kekerasan. Dengan cara demikian, kita tetap memiliki prinsip dan identitas yang sesuai dan mencerminkan ajaran Islam dan pada saat yang sama kita tetap berpijak di bumi, hidup berdampingan secara damai dengan masyarakat dengan menghormati dan mematuhi tata krama sosial sesuai dengan ajaran Islam.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْاَيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاوتَه إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Khutbah II
الْحَمْدُ ِللهِ حَمْدًا كَثِيْرًا كَمَا أَمَرَ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ، إِرْغَامًا لِمَنْ جَحَدَ بِهِ وَكَفَرَ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ ، سَيِّدُ اْلخَلَائِقِ وَاْلبَشَرِ.
اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ
فَـيَآ أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللهَ ، اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ، إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيّ ، يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى
اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَاْلمــُسْلِمَاتِ، وَاْلمــُؤْمِنِيْنَ وَاْلمـــُؤْمِنَاتِ، اَلْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ، فَيَا قَاضِيَ اْلحَاجَاتِ. اَللّٰهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلَاءَ وَاْلغَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَاْلفَحْشَاءَ وَاْلمـــُنْكَرَ، وَاْلبَغْيَ وَالشَّدَائِدَ وَاْلمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هذَا خَآصَّةً، وَمِنْ بُلْدَانِ اْلمـــُسْلِمِيْنَ عَآمَّةً، إِنَّكَ عَلىَ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ. اَللّٰهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. وَاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ.
عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ. اُذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.
Prof. Dr. Abdul Mu'ti, M.Ed, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah