Khutbah 1
الْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، إِلهٰاً وَاحِدًا أَحَدًا فَرْدًا صَمَدًا، لَمْ يَتَّخِذْ صَاحِبَةً وَلاَ وَلَدًا، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ ورَسُوْلُهُ صَادِقُ الْوَعْدِ اْلأَمِيْنِ، اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، فَقَدْ قَالَ اللّٰهُ تَعاَلى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ، أَعُوْذُ بِاللّٰهِ مِنَ اْلشَّيْطَانِ الْرَّجِيْمِ، وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ، فيَا أَيُّهَا النَّاس اِتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. اَمَّا بَعْدُ
Hadirin jamaah Shalat Jumat yang dirahmati Allah,
Marilah di kesempatan ini kita terus meningkatkan rasa syukur kita atas nikmat yang telah dianugerahkan Allah Swt. kepada kita. Mereka yang pandai mensyukuri apa saja yang dianugerahkan kepadanya, akan lebih sehat jiwa-raganya. Bersyukur adalah cara yang paling murah untuk menyembuhkan dan memproteksi diri dari berbagai penyakit. Bagi orang beriman, segala bentuk penderitaan dan kemalangan adalah “surat cinta” atau teguran manis dari Tuhan. Ketika musibah menerpanya, ia tetap bahagia karena nama yang selalu muncul dalam ingatan dan pikirannya hanyalah nama Allah Swt.
Kita juga harus bersyukur bahwa kita hidup di negeri yang damai. Dengan kedamaian itulah kita menjadi tenang dan giat untuk menggapai nikmat Allah. Walaupun negeri ini sarat akan keragaman dan perbedaan, keharmonisannya pun tetap terpelihara. Menjadi tugas kita bersama untuk menjaga kedamaian ini sehingga tercipta baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, negeri yang dicita-citakan, negeri yang dipenuhi kebaikan alam dan kebaikan perilaku warganya sehingga ampunan Allah selalu meliputi kita semua.
Mewujudkan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur adalah perkara yang gampang-gampang susah. Tapi bisa tidaknya, berhasil tidaknya, kembali kepada kesadaran dan usaha kita semua. Pasalnya, semua hal saling terhubung dan terkoneksi antara kita sebagai manusia, alam, dan juga Allah Swt. Semuanya itu tergantung pada perilaku kita, manusia yang diamanatkan Allah sebagai khalifah di muka bumi ini; Bagaimana perlakuan kita kepada sesama manusia, perlakuan kita kepada alam raya ini, dan bagaimana kita di hadapan Sang Pencipta, Allah Azza wa Jalla. Karenanya menjadi tugas kita semua untuk membuktikan bahwa kita ini adalah umat terbaik (khairu ummah) sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Ali Imran (3): 110,
كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ ۗ
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.”
Untuk menjadi umat terbaik, kita semua harus terus menebar dan menyemai kemaslahatan (kebaikan) di mana pun juga apalagi di negeri dimana kita tinggal dan menetap. Untuk menjadi khairu ummah, diperlukan syarat-syarat utama. Di samping tentunya syarat beriman kepada Allah, umat Islam harus berkomitmen menyeru manusia kepada kebaikan (amar ma‘ruf) dan mencegah mereka dari kemunkaran (nahi munkar). Itulah inti misi dan ajaran Islam. Jangan lupa, di ayat sebelumnya, yaitu Ayat 104, Allah menegaskan:
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Q.S. Ali Imran [3]: 104)
Hadirin jamaah Shalat Jumat yang dirahmati Allah,
Di dalam ayat ini Allah menggunakan istilah yad‘una, yang berarti berdakwah, kepada kebajikan (al-khair), tapi menggunakan istilah amr, yang berarti menyuruh, kepada sesuatu yang bersifat ma‘ruf. Inilah yang perlu kita perhatikan bersama bahwa al-Khair adalah kebaikan yang belum sampai setingkat ma‘ruf yang sudah menjadi common sense. Ini mengisyaratkan bagi kita semua perlu adanya strategi dan metode dalam berdakwah. Kita perlu untuk memahami tingkatan kapan saatnya tuntutan itu diungkapkan melalui pendekatan dakwah (yad‘un) dan kapan melalui pendekatan amr sebagaimana dijelaskan dalam ayat tersebut. Di dalam menyerukan kebajikan Allah Swt. juga menegaskan tata cara yang penuh dengan kebijaksanaan sebagaimana dituturkan dalam Surat Al-Nahl (16): 125,
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Ayat ini menegaskan pada kita semua perlunya pendekatan terbaik dalam mengimplementasikan amar ma‘ruf nahi munkar, yaitu dengan cara dakwah konvensional dimana kita tetap diminta mengindahkan nilai dan tata krama (hikmah), walaupun saat menjalankannya dengan cara dialog. Siapapun dalam Islam bisa memberikan nasehat atau dakwah kepada siapapun sesuai sasaran dakwahnya. Suatu ketika kalangan sahabat bertanya: “Untuk siapa nasehat itu wahai baginda Nabi? Nabimengatakan: Untuk Allah, untuk Rasul-Nya, untuk orang-orang beriman, dan untuk semuanya.” Ketika seseorang menyaksikan yang lain melakukan kezaliman lalu ia tidak berusaha mencegahnya, maka dikhawatirkan musibah dan azab Allah akan menimpa semuanya. Di dalam menyampaikan nasehat harus dengan lembut, sopan dan penuh kasih sayang. Nasehat tidak boleh disampaikan dengan cara kekerasan, apalagi sampai melukai, mempermalukan, dan dengan cara-cara yang tidak manusiawi lainnya, sebagaimana diuraikan dalam hadis dan ayat tersebut di atas.
Maka dari itu jelaslah bahwa amar ma‘ruf harus dilakukan dengan ma‘ruf, yakni dengan cara yang diterima dan disepakati dalam masyarakat. Demikian pula dengan nahi munkar. Nahi munkar pun harus dilakukan dengan cara-cara yang ma‘ruf. Jalan kebaikan untuk mendatangkan kemaslahatan adalah jalan Islam, bukan jalan kemunkaran apalagi kekerasan dan kerusakan. Jalan Islam adalah jalan kedamaian, kerelaan dan bukan jalan pemaksaan. Itulah inti dari tauhid dan keikhlasan yang mengajarkan pada kita semua untuk sepenuhnya berserah diri kepada Allah dengan penuh kerelaan yang datang dari hati paling dalam. Allah dengan tegas menyindir kita manakala kita masih saja memaksakan kehendak walaupun itu untuk mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran. Ingatlah, tugas kita hanyalah mengajak, menyampaikan, dan berdakwah sementara keimanan itu atas seizin Allah. Hidayah adalah hak Allah sebagaimana disebutkan di dalam Surat Yunus (10): 99-100,
وَلَوْ شَاۤءَ رَبُّكَ لَاٰمَنَ مَنْ فِى الْاَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيْعًاۗ اَفَاَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتّٰى يَكُوْنُوْا مُؤْمِنِيْنَ ٩٩ وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ اَنْ تُؤْمِنَ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۗوَيَجْعَلُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِيْنَ لَا يَعْقِلُوْنَ ١٠٠
“Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi seluruhnya. Tetapi apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman? Dan tidak seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah, dan Allah menimpakan azab kepada orang yang tidak mengerti.”
Demikianlah bukti kemuliaan dan keagungan nilai-nilai kemanusiaan di dalam Islam. Namun sayangnya, selalu ada segelintir orang yang sering menodai nilai-nilai keagungan itu dengan melakukan pemaksaan dan bahkan perusakan anarkis mengatasnamakan nahi munkar. Mereka menganggap bahwa jalan itu adalah jalan terbaik yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad saw sebagaimana termaktub dalam hadits riwayat Abi Said al-Khudry:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ )رَوَاهُ مُسْلِمٌ(
“Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim, hadits no. 49)
Hadirin jamaah Shalat Jumat yang dirahmati Allah,
Hadits yang memuat 3 jalan dalam mengubah kemunkaran ini seringkali dijadikan landasan atas upaya-upaya nahi munkar dengan jalan kemunkaran, jalan yang sebenarnya tidak diajarkan oleh Islam. Cara-cara anarkis menjadi jalan mereka dengan alasan untuk mewujudkan kemaslahatan yang mereka cita-citakan. Bahkan mereka menganggapnya sebagai jalan terbaik, dan menyamakannnya dengan jalan jihad. Seperti itukah pemahaman terhadap hadits ini? Apakah penggunaan yad (tangan) yang disebutkan pertama dalam mengubah kemunkaran menjadikan keabsahan untuk melakukan tindakan anarkis?
Tentu saja tidak! Apalagi bila hadits ini dipahami dalam konteks negara hukum seperti Indonesia ini. Sebagai warga negara dan sekaligus sebagai umat beragama yang tinggal di wilayah NKRI, umat Islam sudah selayaknya dewasa dan matang dalam beragama sekaligus berbangsa dan bernegara. Semua pihak termasuk umat Islam harus menghindari cara-cara anarkis dalam menyelesaikan setiap persoalan, tetapi pada sisi lain juga harus taat terhadap hukum dan perundang-undangan yang berlaku.
Syeikh Ali Al-Khawwash, salah satu tokoh sufi Mesir mengatakan bahwa benar ada 3 cara mengubah kemunkaran, yaitu dengan tangan, dengan lisan, dan dengan hati. Namun menurutnya 3 cara ini memiliki konteks yang berbeda-beda. Nahi munkar dengan tangan dimaknai bagi penguasa atau pemerintah. Nahi munkar dengan lisan adalah bagi para ulama. Nahi munkar dengan hati adalah bagi kaum arifin yang selalu ber-tawajjuh kepada Allah. Penjelasan Syeikh Ali al-Khawwash ini tentunya sangat relevan dengan fakta bahwa negeri kita ini adalah negara hukum yang memiliki aturan termasuk bagaimana cara mencegah kejahatan dan kemunkaran. Kata yadd (tangan) dalam hadits ini menjadi tepat dimaknai sebagai kebijakan dan penegakan hukum. Maka Islam tidak membenarkan upaya main hakim sendiri sementara hukum tidak membenarkannya. Para penegak hukum adalah pihak yang bertanggung jawab dalam upaya-upaya penegakan hukum demi terwujudnya kemaslahatan bersama. Tentunya itupun tetap menjadi tanggung jawab kita untuk ikut terlibat dalam mengubah dan mencegah kemunkaran dengan cara melapor kepada pihak yang berwenang serta mendukung segala upaya penegakan hukum.
Tapi perlu diingat bahwa pemerintah dan aparat penegak hukum pun harus tetap menegakkan hukum yang berlaku dengan adil tanpa tebang pilih dan harus tanpa kekerasan. Jiwa besar disertai keteladanan pribadi Nabi Muhammad saw bisa ditiru oleh para penegak hukum. Alkisah suatu ketika ada dua konglomerat Yahudi cemburu melihat perkembangan masjid di Madinah. Lantas berniat membuat hal serupa tepat di samping masjid yang dibangun. Para sahabat pun marah. Mereka menilai hal ini adalah provokasi, tapi pihak Yahudi tetap tidak bergeming. Para sahabat pun mengadu kepada Nabi. Namun ternyata karena tanah tersebut memang milik kedua orang Yahudi tersebut, maka Nabi mempersilahkan pembangunan Sinagog untuk dilanjutkan. Situasi saat itu cukup tegang dan panas. Tetapi dengan kelembutannya Nabi Muhammad bisa meredam kemarahan para sahabat dan bahkan sebaliknya dengan keteladanan jiwa besarnya orang Yahudi itu pun menjadi kagum. Akhirnya kedua orang Yahudi itu pun menghentikan pembangunan Sinagog dan bahkan menyerahkan lahannya kepada Nabi untuk perluasan masjid.
Hadirin jamaah shalat Jumat yang berbahagia,
Terbukti, Islam adalah agama yang sangat tegas menentang pemaksaan, kekerasan, dan tindakan anarkis. Untuk tujuan apa pun, atas nama apa dan siapa pun, serta kepada siapa pun, bahkan untuk kepentingan agama Allah pun, cara-cara kekerasan harus tetap dihindari. Bahkan doktrin jihad yang selama ini banyak disalahpahami sebagai alasan untuk memerangi dan membunuh orang lain, pada hakikatnya justru bertujuan untuk menghidupkan orang dan mengangkat martabat kemanusiaan. Jihad sesungguhnya adalah untuk mewujudkan kedamaian makrokosmos (alam raya) dan mikrokosmos (manusia). Keseimbangan antara alam dan manusia serta makhluk hidup lainnya hanya bisa diwujudkan jika sesama umat manusia saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Persaudaraan antar sesama adalah salah satu hal yang dijadikan tujuan di dalam Islam, bahkan Allah juga menegaskan agar sesama manusia harus saling memuliakan satu sama lain. Kita wajib memuliakan umat manusia sebagaimana Sang Penciptanya memuliakannya. Bukan hanya kepada orang lain, tetapi terhadap diri sendiri pun Allah Swt. melarang untuk mencelakai diri, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Baqarah (2): 195,
وَلَا تُلْقُوْا بِاَيْدِيْكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَاَحْسِنُوْا ۛ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ
“Dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuat baiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
بَارَكَ اللّٰهُ لِيْ وَلَكُمْ بِاْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا فَأَسْتَغْفِرُ اللّٰهَ العَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Khutbah 2
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ، اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللّٰهِ مِنْ شُرُوْرِ اَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ اَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللّٰهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لَانَبِيَّ بَعْدَهُ، اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ، أَمَّا بَعْدُ. فَيَا عِبَادَ اللّٰهِ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللّٰهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ، أَعُوْذُ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحّْمنِ الرَّحِيْمِ، إِنَّ اللّٰهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يٰٓاَيُّهَا الَّذِينَ اٰمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيْمًا.
اَللّٰـهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدّعَوَاتِ، رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ، وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوْبِنَا غِلّاً لِّلَّذِيْنَ اٰمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوْفٌ رَّحِيْمٌ، اَللّٰـهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلاً، وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ، رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِنْ لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ، رَبَنَا اٰتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
عِبَادَ اللّٰهِ، إِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَاِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبي وَيَنْهَي عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ، وَلَذِكْرُ اللّٰهِ أَكْبَرُ
Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA. Imam Besar Masjid Istiqlal